Perempuan Papua

Perempuan Papua

Kamis, 13 Oktober 2016

PERSEPSI PEREMPUAN- PEREMPUAN KOMBAI - KOROWAI TENTANG SUAMI? JAWABAN YANG SANGAT KONTRADIKSI DENGAN NILAI-NILAI KELUARGA


Kamis, tanggal 28 Oktober 2015, tepat jam 11.00 WIT saya bersama teman saya terbang menggunakan pesawat kecil twin otter dari Tanah Merah ibukota Kabupaten Boven Digoel menuju tanah adat suku Kombai - Korowai di Distrik Yaniruma.  Perjalanan memakan waktu  kurang lebih 20 menit. Dalam perjalanan itu, saya menikmati pemandangan sungai Digoel yang tampak rabun ditutupi embun dan air sungai yang terlihat menyempit. Ternyata pada saat  itu telah terjadi musim kemarau panjang yang menciptakan kabut asap.

Suku Kombai-Korowai, suku yang terkenal dengan rumah pohonnya dan hanya  saya dengar dari sebuah film berjudul LOST In Papua  karya Irham Acho Bachtiar.   Tidak disangka  dalam hidup saya, bahwa saya bisa diijinkan Tuhan untuk menjejakan telapak kakiku di tanah itu.  Seperti sebuah mimpi di siang hari.

Saya sempat berpikir bahwa mungkin saya bisa menemukan rumah pohon dan komunitas suku Korowai yang masih menggunakan koteka. Namun saya tidak melihat  itu di ibukota distrik. Saya lalu bertanya pada salah satu petugas medis di sana, Dimana rumah pohon itu? Kata petugas medis itu,  rumah pohon hanya ditemukan di kampung-kampung yang letaknya sangat jauh dari ibukota distrik ini.  Sayapun kecewa karena saya hanya menjangkau kampung-kampung di dekat ibu kota distrik. 

Namun ada hal-hal  menarik  yang saya dapati saat saya  mengunjungi beberapa kampung terdekat.  Saya menemukan beberapa kelompok perempuan yang duduk bersama dengan anak-anaknya sedang menambang batu kerikil untuk dijual ke kontraktor sebagai bahan bangunan. Tidak saya dapati seorang suami atau laki-laki yang membantu mereka selain anak-anak mereka. Hal ini membuat tergerak hati saya ingin bertanya dimana suami mereka? Sayapun bertanya kepada mereka. Jawab perempuan-perempuan itu, bapa ada di rumah? lalu saya bertanya, Bikin apa mereka di rumah? jawab perempuan-perempuan itu, Duduk-duduk saja di rumah. Ada  yang menjawab, bapa pamalas, tidak pernah bantu mama.
Ada juga yang bilang, bapa turun ke kota sudah 2 minggu karena lagi  urusan kampung.  wow!! dalam hatiku, hebatnya perempuan-perempuan ini. Dahulu mereka tidak bekerja sebagai penambang batu, tetapi kebutuhan pembangunan di Distrik mereka menuntut para perempuan ini harus menambah lagi satu daftar  aktivitas produksi mereka. Tanpa sadar, mereka bukan menjadi penikmat pembangunan, justru mereka menjadi korban dampak pembangunan di daerah mereka.

Mengapa tidak laki-laki saja yang bekerja sebagai penggali tambang batu? Tanpa sadar dampak pembangunan hanya menjadikan laki-laki sebagai penikmat pembangunan dari hasil istrinya. Dimana istrinya mendapat uang dari galian tambang namun uang tersebut dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan keluarga termasuk suaminya, membeli rokok untuk suami, membeli baju untuk suami. Saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil berjalan pulang ke penginapan saya. Seandainya ada regulasi yang mengatur setiap  proyek  pembangunan masyarakat layak diprogramkan jika  ada kelayakan berdasarkan  analisis  gender seperti halnya mengalisis Amdal pada setiap proyek pembangunan. Maka mungkin dampak kelebihan beban kerja pada perempuan dapat dihindari karena  mewajibkan laki-laki  harus mengambil bagian dalam bekerja.   

Masih dengan berbagai pertanyaan di benak saya, sayapun melangkah meninggalkan mereka menuju sungai Daeram. Selama dalam perjalanan, sayapun menemukan sekumpulan  perempuan-perempuan yang menggendong noken berisi hasil kebun dan menggendong anak yang masih balita. Sayapun berhenti dan sempat menanyakan mereka dari mana? dan apa yang sedang dipikul di dalam noken? Merekapun berkata kami dari kebun. Pertanyaan berlanjut, mama, dimana suami mama? sebuah jawaban yang sama, bapa ada di rumah!!! wow! untuk yang kedua kali hatiku tersentak. Hebatnya mama-mama ini, mengurus anak sambil berkebun dan sambil menokok sagu  untuk  kebutuhan makanan harian mereka. 

Saat yang hampir bersamaan, saya membuang mata saya ke arah sungai, terlihat dalam pandanganku, seorang perempuan beserta anak-anaknya sedang mendayung perjalan-lahan melawan arus sungai menuju tepian sungai, ternyata ia baru pulang memancing. Saya segera berlari karena ingin membantu menurunkan anaknya yang masih kecil ke tepian sungai. Sambil menggendong anaknya yang kecil, saya bertanya,  ibu dapat ikan kah tidak? ibu itu menjawab, hanya ikan kecil-kecil 3 ekor, mungkin karena sungai  lagi kering tidak seperti biasanya. Sudah berapa jam ibu memancing? jawabnya, Dari pagi. Saya lalu lihat jam tangan saya  ternyata hampir 4 - 5 jam ibu ini memancing bersama anaknya. Karena anaknya menangis lapar, maka mereka memutuskan untuk kembali ke rumah mereka untuk menyiapkan makanan pokok mereka, yaitu sagu bakar sinoli.

Saya mulai duduk bersama para perempuan-perempuan ini. Pertanyaan yang sama saya lontarkan kepada mereka, namun saya mendapatkan jawaban yang sama.  Pikirku dalam hati, kalau suami tidak membantu mereka,  terus apa manfaat suami bagi mereka? Apakah mereka masih membutuhkan suami? Apa pandangan mereka tentang  suami sebagai penolong?  Pertanyaan itu saya sengaja lontarkan kepada para perempuan-perempuan itu. Sebuah jawaban yang mengagetkan tetapi sangat bermakna :  bapa pamalas, tidak tahu bantu mama... kalau bapa mati juga tdk papa krn bapa hidup itu bikin beban untuk mama. Lebih baik mama hidup sendiri dari pada harus cari makan untuk mereka terus, mama cape... karena bapa pamalas dan tdk kerja apa-apa, jadi yang bapa  pikir itu cuma pikir kawin baru saja. Ternyata ada beberapa suami mereka yang memiliki istri muda di rumah dan para mama-mama atau istri-istri tua ini yang bekerja. oh my god!!!!

Sadarkah mereka bahwa mereka dieksploitasi secara tidak  sengaja oleh suami mereka?  ekploitasi tanpa bayaran. Padahal dari jawaban mereka, tersirat makna kemandirian mereka. Mereka sudah siap hidup tanpa suami karena tidak ada ketergantungan hidup pada suami mereka. Namun mengapa mereka harus hidup dalam kekuasaan laki-laki dan tidak berdaya untuk memberontak? Ternyata nilai budaya telah menkonstruksi mereka untuk hidup dalam kekuasaan laki-laki walaupun sebenarnya mereka sangat mandiri.

Tidak ada komentar: